‘Mencair’
Jatinangor, 9 Februari 2022
Pukul 18.17
Hawa dingin itu telah menyelimuti diriku berbulan-bulan lamanya. Sesak sekali untuk setiap rasa dapat masuk ke dalam diriku, hanya ada tanpa makna yang hadir di setiap saat masa itu.
Tak terasa, delapan belas bulan sudah aku hidup dalam selimut dingin itu. Entah berapa banyak momen yang sebenarnya bermakna, namun aku menutup diri, memasangkan kacamata kuda pada kedua mataku.
Perjumpaan terakhir yang menjadi titik tolakku untuk mengambil jalan kesendirian. Berjalan sendiri, kesana-kemari, tanpa peduli tentang perasaan yang datang dan pergi. Bagiku, semuanya tidak penting, begitu pun tentang hal-hal yang dahulunya bermakna untukku. Perasaanku terhadapnya yang ‘dibekukan’ tidak hanya membekukan dirinya, namun semua kejadian yang berkaitan tentangnya.
Ia hadir sejak awal dari pelayaran ini dimulai, entah berapa banyak ombak dan badai yang menghantam, ia selalu hadir di tengah-tengah perjalananku, membenarkan kapalku, memberikan dermaga untukku berlabuh dan beristirahat. Meskipun terkadang ia tiada dan pergi, jauh lebih besar jasanya dibanding ketiadaannya.
Kini, di tengah kekacauan badai pelayaran sendiri yang semula baik, ia mengizinkanku untuk melabuhkan kapalku di dermaga miliknya. Selimut dingin yang kugunakan selama pelayaran itu mulai mencair. Mencairkan segala hal yang kubekukan selama ini, tentangnya dan segala hal yang selama ini membeku. Hilang sesak akibat hawa dingin itu, beragam warna mulai memenuhi ruang kelabu tersebut.